Minggu, 08 September 2013

Aurora di Langit Alengka : Cara Beda Berkisah Wayang

Bisa dibilang, wayang adalah sumber cerita yang tak habis-habisnya dikisahkan ulang baik melalui media tradisional seperti pakeliran wayang kulit dan wayang orang atau media modern semacam komik dan novel. Kita masih ingat bagaimana RA Kosasih mengolah cerita wayang menjadi komik yang fenmomenal pada tahun 1970-an. Sementara sastrawan seperti Romo Mangunwidjaya terinspirasi wayang dan melahirkan novel Durga Umayi, atau Nirman Dewanto dalam Bomantara.
Dari babon utama seperti Lokapala, Ramayana dan Mahabharata, para pencerita wayang di Indonesia mengembangkan cerita-cerita kreasi mereka sendiri yang lalu disebut carangan, atau cerita di luar babon utama tersebut. Sebut saja Serat Kalimasada, Dewa Ruci atau Arjunawiwaha. Belakangan jagad novel modern juga diramaikan dengan judul-judul berbasis wayang seperti Wisanggeni Membakar Api atau Arjuna Sang Pemanah Sejati karya Pitoyo Amrih.
Namun novel berbasis wayang dengan cara bercerita beda nampaknya baru kali ini. Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko mencoba menceritakan wayang dengan cara yang amat beda, bahkan melenceng dari pakem. Jika komik dan novel-novel wayang lain seperti bercerita ulang, Agus menawarkan lakon yang sepertinya dibuat sendiri.
Novel ini menceritakan empat anak muda Jakarta yang tertarik desas-desus tentang lorong rahasia menuju dunia wayang. Kabar angin itu membawa mereka ke sebuah desa kecil di Klaten, Jawa Tengah. Di kotak wayang kuno milik seorang dalang sepuh bernama Eyang Gondobayu secara kebetulan mereka menemukan lorong rahasia itu. Mereka pun masuk, menyusuri lorong gelap dan tiba di ujung lain, Negeri Kosala, tepat ketika Rama memboyong Sinta dari Mantili. Dari sinilah petualangan anak-anak pemberani ini dimulai.
Dalam kesadaran penuh, empat anak muda itu menjalani kehidupan di salah satu negeri wayang itu. Mereka hidup bersama mahkluk-mahkluk dunai wayang, baik manusia, gandarwa, raksasa, hantu-hantu, hewan-hewan yang bisa bicara, dewa-dewa maupun bidadari-bidadari yang bisa melayang-layang. Oleh penulis, kehidupan dalam kesahajaan itu dideskripsikan, atau tepatnya dieksporasi secara detail.
Empat anak muda itu bahkan masuk ke Hutann Dandhaka, salah satu tempat yang penting dalam wiracarita Ramayana. Pendek kata mereka hidup bersama Rama, Sinta dan Laksmana yang tengah menjalani pembuangan. Karena sudah tahu apa yang bakal terjadi, keempatnya berusaha mencegah penculikan Sinta oleh Rahwana. Saat Kijang Kencana datang menggoda, salah satu anak itu memanahnya hingga berubahlah wujudnya menjadi Kala Marica yang diutus Rahwana menjauhkan Sinta dari Rama. Momen ini menyadarkan Rama bahwa Sinta dalam bahaya sehingga ia sangat melindungi.
Merasa saatnya kembali ke dunia mereka tiba, keempat anak itu pun berencana pulang melewati lorong rahasia yang dulu membawa mereka masuk ke dunia wayang. Tapi pada hari kepulangan itu, Laras, salah satu dari empat anak muda yang penampilannya mirip Sinta menjadi korban salah culik Rahwana. Dari titik inilah petualangan lebih seru dimulai. Agus, dalam kapasitasnya sebagai “dalang” leluasa menceritakan bagaimana Rama membebaskan Laras dengan caranya sendiri, yang sudah pasti sangat beda dengan pakem Ramayana yang ada.
Judul : Aurora di Langit Alengka (novel)
Pengarang : Agus Andoko
Penerbit : Diva Press 
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 2013 cetakan pertama Maret 2013
Jumlah halaman : 606 , Ilustrasi 27 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar